WARGA LAMPUNG | JAKARTA — Gugum Ridho Putra SH MH, praktisi hukum melalui Tim Advokasi Bulan Bintang melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul Polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap keliru tetapkan tersangka TNI aktif dan berujung permintaan maaf.
Dimana KPK terang-terangan mengaku khilaf dan memita maaf, karena menetapkan tersangka kepada personel TNI aktif.
KPK dikritik karena dianggap tidak profesional menggunakan kewenangannya.
Tim Advokasi yang terdiri dari Irfan Maulana Muharam SH, Gatot Priadi SH MH, Yolis Suhadi SH MHM, Iqbal Sumarlan Putra SH MH, Dega Kautsar Pradana SH MSi pada Rabu (2/8) telah menyerahkan Berkas yang di terima oleh Syamsudin Noer, di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Langkah tim Advokasi hukum Bulan Bintang tersebut atas dasar Surat Kuasa khusus bertindak untuk dan atas nama Gugum Ridho Putra SH MH sebagai pemohon uji materil undang undang.
Pengujian Materiil itu diantaranya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ("UUD NRI Tahun 1945") di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Polemik KPK yang berujung permintaan maaf telah memunculkan pertanyaan para penguji materi hukum, apakah benar KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang melibatkan sipil dan militer secara bersama sama atau disebut perkara koneksitas.
Salah satunya pertanyaan dan keterangan dari pemohon uji materil, Gugum Ridho Putra yang menyebut belum ada ketentuan yang jelas mengatur.
"Undang-Undang KPK memang sudah mengatur wewenang untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan perkara korupsi yang melibatkan sipil dan militer, namun belum ada ketentuan yang mengatur bagaimana tatacara wewenang tersebut dijalankan," terang Gugum.
Di sisi lain menurutnya KUHAP sudah mengatur tatacara penanganan perkara koneksitas dari mulai pembentukan tim gabungan penyidikan, penelitian perkara, penuntutan, hinga persidangan perkara. namun ketentuan yang diatur hanya ditujukan untuk Kejaksaan Agung.
"Melalui Pengujian undang-undang ini, diharapkan MK dapat memperjelas kewenangan KPK menyelidik, menyidik dan menuntut perkara korupsi koneksitas, sehingga apabila terdapat perkara serupa di masa yang akan datang, KPK dapat lebih profesional dan tidak lagi ragu-ragu untuk menggunakan kewenangannya, "lanjut Gugum.
Menurutnya polemik KPK yang keliru tetapkan tersangka TNI aktif dan berujung permintaan maaf diyakini karena wewenang KPK mengusut perkara koneksitas yang belum jelas.
"Undang-undang KPK memang sudah mengatur tentang itu tapi belum jelas tata cara untuk menjalankannya. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 8/1981 tentang hukum acara pidana sudah mengatur tata cara nya, namun aturan itu baru diadakan untuk Kejaksaan Agung, sementara KPK tidak disebut di sana. Untuk itu, pengujian ini dimaksudkan agar MK memperjelas aturan soal koneksitas dalam undan undang tersebut agar dapat dimaknai termasuk juga KPK, dengan begitu KPK dapat turut menggunakan tata cara tersebut," tandasnya. (lia)