Oleh : Dr King Faisal Sulaiman SH, LLM.
Pakar Hukum Tata Negara
Mahkamah Konstitusi kembali membuat putusan kontroverisal No. 90 /PUU-XXI/2023, dengan memutuskan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju di pilpres asal pernah atau sedang menjabat kepala daerah. Putusan ini sangat sensitif dan beraroma politis, karena terkait dengan momentum Pilpres 2024.
Putusan ini buntut dari JR UU No.7/2017 mengenai Pemilu, terkait batas usia capres-cawapres dan diajukan seorang mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru.
Pasal 169 huruf q UU a quo yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Apakah putusan ini by order, COD atau bukan, wallahu alam. Jangan sampai putusan a quo menandai dugaan terjadinya perselingkuhan rezim dengan MK. Banyak yang berspekulasi, seakan jurus invisible hand, turut cawe cawe mempengaruhi putusan. Semoga prasangka ini hanya terjadi di negeri Wakanda.
Namun sangkaan ini rasa rasanya sulit untuk diingkari. Geliat konfigurasi politik masih menunjukkan, hasrat Gibran-Walikota Solo untuk disanding dengan Prabowo bukan pepesan kosong.
Yang pasti, putusan ini memberikan peluang atau karpet merah bagi Gibran, sehingga tidak ada lagi jalan terjal konstitusi yang menghalanginya, untuk masuk dalam radar Cawapres.
Menariknya, Putusan ini sendiri justru membuat galau atau baperan hakim MK yang dissenting opinion. Agak membingungkan sekaligus menggelikan untuk tidak mengatakan, ini bukanlah dagelan konstitusi.
Hakim MK saja mengaku heran dan bingung dengan putusannya, apalagi publik. Tidak bermaksud terlalu hiperbalis atau sarkaestik tapi faktanya, dicantumkan dalam argumentasi hukum putusan.
Saya pernah mengkritik bahwa, dalam beberap kasus, sikap inkonstistensi acap kali disuguhkan Mahkamah dalam membuat putusan. Apalagi kembali terulang dalam perkara ini. Bagaimana dengan konstitusionalitas batasan minimal usia Cagub/Wakil 30 tahun; Cabup/wakil 25; atau Caleg anggota DPRD/DPR/DPD tahun.
Pada titik ini, Mahkamah boleh saja berdalih bahwa doktrin Ultra Petita tidak bisa dipisahkan dari jati diri pembentukan MK. Menafsirkan makna konstitusionalitas dibalik Pasal atau ayat UU yang di JR, tidak boleh berlangsung kaku dan defesit nilai filosofis serta sosiologis dibalik argumentasi hukum yang dibangun.
Walau doktrin yurisprudensi tidak berlaku mutlak dalam sistem peradilan kita, namun sikap inkonsistensi sangat jelas terlihat dengan sejumlah putasan MK sebelumnnya.
Apalagi dengan objek JR dan petitum yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak berjarak. Sebut saja Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan perkara 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah.
Ketiga putusan ini berakhir dengan penolakan. MK menyatakan tetap konsisten dengan batasan usia 40 tahun untuk Capres/Cawapres. Urusan mengubah, diserahkan kepada pembentuk UU sebagai open legal policy.
Sebijaknya, setiap putusan MK memiliki garis demarkasi pertimbangan hukum yang lebih rasional, sarat nilai moral konstitiusional.
Pengaruh progesifitas MK mestinya, lebih tampak dibalik ratio decidenci, sehingga bersenyawa dengan nilai keadilan sosial yang dipotret oleh publik.
Bukankah hakim wajib menggali nilai keadilan dan kearifan yang hidup dan berkembang dalam Masyarakat.? Memerankan diri sebagai positive legislator, bukan berarti menutup telinga dan mata dari suara keadilan yang berkembang di masyarakat.
Belum ada dalam sejarah Putusan MK, ratio decendi hakim yang menolak putusan, mengungkapkan perasaan-curhat seolah kecewa bercampur rasa tak percaya dengan putusan MK sendiri.
Sebagaimana curhat hakim Saldi Isra dihadapan sidang pembacaan putusan per Senin 16 Oktober 2023. Saldi malah menegaskan, MK justru terjabak dirinya sendiri dalam pusaran politis pada akhirnya meruntuhkan MK.
Termasuk dalam barisan curhat adalah Hakim Arief Hidayat (dissenting opinion), yang mengangap putusan a quo mencoreng marwah MK dan turut mengku heran dan bingung.
Terakhir, ketua MK turut terlibat dalam memutus perkara a quo, padahal memiliki hubungan kekeluargaan dengan Presiden. Potensial konflik kepentingan sulit dihindari. Jika tegak lurus pada supremasi hukum, maka putusan MK ini, tidak berkuatan hukum alias batal demi hukum.
Pasal 17 UU Kekusaan Kehakiman, tegas melarang setiap hakim/panitera untuk ikut terlibat atau wajib wajib mengundurkan diri, jika terdapat hubungan keluarga dengan pihak berperkara; atau terkait langsung dengan objek perkara yang ditanganinya.
Termasuk yang memiliki kepentingan langusung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang ditanganinya. Kewajiban mundur, baik kehendak sendiri atau permintaan pihak yang berperkara.
Sanksi adminsitrasi atau ancaman pidana menanti hakim, jika tidak mau mengundurkan diri.
Sayangnya, “tak segampang itu”, berharap para hakim MK untuk tunduk dan terikat. Mungkin sudah waktunya, kita melakukan evaluasi MK. Apakah kehadirannya masih diperlukan atau ditinjau ulang. Kita tunggu political commitment Presiden baru 2024.