LAMPUNG - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (Ketum DPP) Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Tolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Mewakili rekan-rekan Pers yang tergabung di organisasi pers PWDPI saya menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,”Tegas Ketum PWDPI, Nurullah di Jakarta, Selasa (15/5).
Ketum PWDPI mengatakan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.
“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka bersama organisasi pers serta ribuan anggota PWDPI akan turun jalan mengadakan unjuk rasa di Senayan,"kata Ketum PWDPI.
Menurut Ketum PWDPI, bila RUU itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional serta bentuk pembredelan profesi pers.
"Penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya ini sudah menciderai insan pers. Dewan Pers itu adalah perwakilan kami atau wakil kami untuk menyuarakan aspirasi kami di parlemen dewan pers itu DPR kami," ujarnya.
Ketum PWDPI juga mengatakan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran. Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, ujarnya, juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
Ketum PWDPI juga soroti penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran.
“Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers. Ini kelak akan terjadi seperti tuan melaporkan Belanda,”imbuhnya.
Ketum PWDPI menambahkan, upaya menggembosi kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. Hal itu lanjutnya, antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran. Yadi menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.
"RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. Saya minta agar draf RUU Penyiaran yang bertolak belakang dengan UU Pers," tegas Ketum PWDPI.
Ketum PWDPI minta agar draf RUU itu dicabut karena akan merugikan publik secara luas dan kembali disusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
"Jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik," pungkas Ketum PWDPI yang mengaku saat ini sudah ada 800 media yang tergabung pada PWDPI dan memiliki Cabang di 30 Provinsi. (Tim)